64 V. KETERAMPILAN MENYIMAK A. Definisi Keterampilan Menyimak Hakikatnya keterampilan menyimak adalah melatih pendengaran dan daya ingat. Aspek keterampilan menyimak bertujuan agar siswa mampu menangkap, memilih, memahami, mengingat dan mengumpulkan informasi dari apa yang disimak atau didengar. “Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang lisan-lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang tidak disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan”. (Tarigan: 1983) Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah di sampaikan oleh pembicara. Sedangkan dalam pembelajaran disekolah, daya simak siswa sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, dan menelaah informasi. Menyimak juga mempengaruhi ketiga keterampilan bahasa yang lain. Menyimak juga merupakan proses awal anak dapat mengenal bahasa. Dari menyimak anak dapat berbicara, membaca, dan menulis. Selain itu, siswa dapat pula melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Misalnya dari pembacaan sebuah cerita. Selama proses menyimak, siswa seolah-olah terbawa oleh alur yang dibuat oleh pengarang cerita. Dari penyimakan tersebut pula siswa dapat mengidentifikasi permasalahan dan solusi dari cerita. B. Perbedaan menyimak, mendengar dan mendengarkan Menyimak, mendengar dan mendengarkan merupakan sebuah kegiatan yang hampir sama, namun sebenarnya terdapat perebdaan dari ketiga aktivitas tersebut. Menurut Akhadiat (dalam Sutari dkk 1997: hlm. 18- 65 19) menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, dan mereaksi atas makna yang terkandung di dalamnya. Kemudian menurut Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi serta memahami makna komuniksi yang disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Sutari, (1998: hlm. 16) menyimpulkan bahwa mendengar mempunyai makna, dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sadar atau tidak. Kalau ada bunyi, alat pendengaran kita akan menangkap bunyi tersebut. Proses mendengar terjadi tanpa perencanaan, tetapi datang secara kebetulan,mungkin juga tidak. Sedangkan mendengarkan adalah merespon atau menerima bunyi secara disengaja. Memperhatikan dengan baik apa yang dikatakan oleh orang lain yang sudah mulai melibatkan unsure kejiwaan yang berarti aktivitas mental sudah muncul, hanya belum setinggi aktivitas menyimak. C. Tujuan Menyimak Adapun tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam, antara lain: 1. Menyimak untuk belajar 2. Menyimak untuk menikmati 3. Menyimak untuk mengevaluasi 4. Menyimak untuk mengapresiasi 5. Menyimak untuk mengkomunikasikan ide-ide 6. Menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi 7. Menyimak untuk memecahkan masalah 8. Menyimak untuk meyakinkan 66 D. Manfaat Menyimak Menurut Setiawan (dalam Darmawan 2001: hlm. 11-12) manfaat menyimak ada banyak antara lain sebagai berikut : 1. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang berharga bagi kemanusiaan sebab menyimak memiliki nilai informatif yaitu memberikan masukan-masukan tertentu yang menjadikan kita lebih berpengalaman. 2. Meningkatkan intelektualita serta memperdalam penghayatan keilmuan dan khazanah ilmu kita. 3. Memperkaya kosa kata, menambah perbendaharann ungkapan yang tepat, bermutu dan puitis. Orang yang banyak menyimak komunikasinya menjadi lebih lancar dan kata-kata yang digunakan lebih variatif. 4. Memperluas wawasan, mengingkatkan penghayatan hidup, serta membina sifat terbuka dan objektif. 5. Meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial. 6. Meningkatkan citra artistik jika yang kita simak itu merupakan bahan simakan yang isinya halus. Banyak menyimak dapatmenumbuh suburkan sikap apresiatif, sikap menghargai karya atau pendapat orang lain dan kehidupan ini serta meningkatkan selera estetis. 7. Menggugah kreativitas dan semangat mencipta untuk menghasilkan ujaran-ujaran dan tulisan-tulisan yang berjati diri. Jika banyak menyimak, kita akan mendapat ide-ide yang cemerlang dan segar, pengalaman hidup yang berharga. Semua itu akan menodorng kita untuk giat berkarya dan kreatif. E. Tahap-tahap Menyimak Ruth G. Stricland dalam Tarigan (1986) menyimpulkan ada sembilan tahapan menyimak, mulai dari yang tidak ketentuan sampai pada yang amat bersungguh-sungguh, yaitu sebagai berikut: 1. Menyimak berkala, yang terjadi pada saat anak merasakan keterlibatan langsung dalam pembicaraan mengenai dirinya. 67 2. Menyimak dengan perhatian dangkal, karena sering mendapat gangguan dengan adanya selingan-selingan perhatian kepada hal-hal di luar pembicaraan. 3. Setengah menyimak karena terganggu oleh kegiatan menunggu kesempatan untuk mengekspresikan isi hati anak. 4. Menyimak serapan karena anak keasikan menyerap hal-hal yang kurang penting, jadi merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya. 5. Menyimak sekali-sekali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang di simak, karena perhatiannya terganggu oleh keasikan lain dan hanya mendengarkan hal-hal yang menarik saja. 6. Menyimak asosiatif; hanya mengingat pengalaman-pengalaman pribadi secara konstan, yang mengakibatkan penyimak benar-benar tidak memberi reaksi terhadap pesan yang di sampaikan pembicara. 7. Menyimak dengan reaksi berkala terhadap pembicara dengan memberi komentar maupun pertanyaan. 8. Menyimak secara seksama, mengikuti jalan pikiran pembicara dengan sungguh-sungguh. 9. Menyimak secara aktif untuk mendapatkan serta menemukan pikiran, pendapat, dan gagasan pembicara. Terdapat pakar lain yang mengemukakan adanya tujuh tahapan dalam menyimak: 1. Isolasi : Pada tahapan ini, penyimak mencatat aspek-aspek individual kata lisan dan memisah-misahkan atau mengisolasikan bunyi bunyi, ide-ide, fakta-fakta, organisasi-organisasi khusus, begitu pula stimulus-stimulus lainnya. 2. Identifikasi: Sekali stimulus tertentu telah dapat dikenal maka suatu makna atau identitas pun diberikan kepada setiap butir yang berdikari itu. 3. Integrasi: kita mengintegrasikan atau menyatupadukan sesuatu yang kita dengar dengan informasi lain yang telah kita simpan dan rekam dalam otak kita. Oleh karena itulah, pengetahuan umum sangat penting dalam tahap ini. Kalau proses menyimak berlangsung, kita harus 68 terlebih dahulu mempunyai beberapa latar belakang atau pemahaman mengenai bidang pokok pesan tertentu. kalau kita tidak memiliki bahan penunjang yag dapat dipergunakan untuk mengintegrasikan informasi yang baru itu, jelas kegiatan menyimak itu akan menemui kesulitan atau kendala. 4. Inspeksi: pada tahap ini, informasi baru yang telah kita terima dikontraskan dan dibandingkan dengan segala informasi yang telah kita miliki mengenai hal tersebut. Proses ini akan menjadi paling mudah berlangsung kalau informasi baru justru menunjang prasangka atau prakonsepsi kita. Akan tetapi, kalau informasi baru itu bertentangan dengan ide-ide kita sebelumnya mengenai sesuatu, kita harus mencari serta memilih hal-hal tertentu dari informasi itu yang lebih mendekati kebenaran. 5. Interpretasi: pada tahapan ini, kita secara aktif mengevaluasi sesuatu yang kita dengar dan menelusuri dari mana datangnya semua itu. Kita pun mulai menolak dan menyetujui serta mengakui dan mempertimbangkan informasi tersebut dengan sumber-sumbernya. 6. Interpolasi : selama tidak ada pesan yang membawa makna dalam dan member informasi, tanggung jawab kitalah untuk menyediakan serta memberikan data-data dan ide-ide penunjang dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman kita sendiri untuk mengisi serta memenuhi butir-butir pesan yang kita dengar. 7. Introspeksi : dengan cara merefleksikan dan menguji informasi baru, kita berupaya untuk mempersonalisasikan informasi tersebut dan menerapkannya pada situasi kita sendiri. (Hunt; 1981: hlm. 18-19). F. Hal-hal yang Perlu Disimak Khusus mengenai bahasa, sebagai pelajar haruslah menyimak serta mengenal dan memahami hal-hal berikut: 1. Bunyi-bunyi fonemis atau bunyi-bunyi distingtif bahasa yang bersangkutan, dan pada akhirnya variasi-variasi fonem yang bersifat 69 personal atau dialek seperti dipakai atau diucapkan oleh beberapa pembicara asli, penduduk pribumi 2. Urutan-urutan bunyi beserta pengelompokan-pengelompokannya; panjangnya jeda, pola-pola intonasi 3. Kata-kata tugas beserta perubahan-perubahan bunyi sesuai dengan posisinya di depan kata-kata lain. 4. Infeksi-infeksi untuk menunjukkan jamak, waktu, milik, dan sebagainya 5. Perubahan-perubahan bunyi dan pertukaran-pertukaran fungsi yang ditimbulkanoleh derivasi, misalnya adil, keadilan, pengadilan, mengadili, dan diadili. 6. Pengelompokkan-pengelompokkan structural, misalnya yang berhubungan dengan frasa-frasa verbal, preposisional 7. Petunjuk-petunjuk urutan kata yang menyangkut fungsi dan makna 8. Makna kata-kata yang bergantung pada konteks atau situasi pembicaraan, misalnya: kaki, dan sop kaki 9. Kata-kata salam, kata-kata sapaan, kata-kata pendahuluan, dan kata kata keraguan yang terdapat dalam ujaran atau pembicaraan 10.Makna budaya (cultural meaning) yang terkandung atau tersirat dalam suatu pesan atau ujaran G. Hal yang Perlu Diperhatikan untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Dalam upaya meningkatkan kemampuan menyimak terdapat beberapa strategi. Berbagai strategi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menyimak. Guru dapat memberikan cerita yang tidak terlalu panjang di kelas. Namun, sebelum membaca, guru harus mendiskusikan etika atau sopan santun dalam menyimak dan perbedaan antara kritik yang konstruktif atau negatif. Diskusi tersebut hendaknya menekankan harapan agar murid-murid saling menghormati dan membina kesetiakawanan. Setelah membacakan cerita atau artikel, guru hendaknya mengadakan diskusi mengenai bagian-bagian cerita atau artikel tersebut yang patut dipuji atau perlu diperbaiki. Guru sebaiknya mendaftar segi-segi 70 positif dan negatif tersebut di papan tulis atau dengan menggunakan projektor, sehingga setiap anak dapat melihat dan mendengar hal-hal penting yang sedang di diskusikan. Pada saat inilah guru dapat menekankan kepada murid-murid untuk mengajukan pertanyaan dengan cara yang sopan dan pada saat inilah guru dapat memberikan dorongan kepada anak untuk memperbaiki pertanyaannya agar menjadi jelas dan menggunakan bahasa yang baku. Apabila tidak ada anak-anak yang memberikan komentar terhadap cerita atau artikel yang telah dibacakan, guru dapat menyarankan agar mereka berperan seolah-olah menjadi pengarang cerita atau artikel tersebut. Komentar apa yang mereka inginkan dari pembaca seandainya mereka menjadi pengarang cerita atau artikel yang telah dibacakan oleh guru (Yeager, 1991: hlm. 96). H. Peran yang Harus Diperhatikan dalam Meningkatkan Kemampuan Menyimak 1. Peran guru sebagai penyimak Dalam kelas yang efektif, guru memberikan penekanan pada keterampilam menyimak seperti halnya pada keterampilan membaca dan menulis. Menyimak merupakan saran yang utama untuk belajar, oleh karena itu kebiasaan perlu dikembangkan. Cara yang terbaik untuk mengembangkan murid-murid sebagai penyimak efektif. Tunggulan sampai suatu pertanyaan dikemukakan secara lengkap sebelum menjawab pertanyaan murid. Demikian juga murid-murid dibiasakan melakukan hal yang serupa. Ringkasan apa yang anda dengar, yakinkan diri bahwa Anda dan pembicara memiliki pemahaman yang sama terhadap suatu informasi. Apabila perlu dikemukakan kembali, pertanyaan yang harus Anda jawab atau yang harus dijawab oleh orang lain. Berikan dorongan untuk saling bertukar pendapat. Ingatkan murid murid bahwa menjadi penyimak yang baik sama pentingnya dengan menjadi pembicara yang efektif (Yeager, 1991: hlm. 98). 2. Partisipasi kelompok 71 Dalam kelas yang berdasarkan pendekatan pembelajaran bahasa secara holistik, murid-murid lebih banyak bekerja dalam kelompok. Kelompok-kelompok tersebut bersifat informal, misalnya bekerja secara berpasang-pasangan untuk diskusi atau persiapan bermain peran. Dapat pula berupa kelompok yang disusun dengan perencanaan yang matang untuk tujuan tertentu, misalnya menyelesaikan suatu proyek. Kelompok dapat diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara khusus, dapat pula untuk menolong anak-anak yang ingin meningkatkan keterampilan tertentu misalnya meningkatkan kemampuan menyimak. Kerja kelompok dapat menolong murid-murid mengembangkan sikap sosial yang positif, memberikan penguatan keterampilan berbahasa yang spesifik, dan membantu guru menyelenggarakan pembelajaran sebaik mungkin. Selama setahun setiap anak akan menjadi anggota kelompok yang berbeda-beda. Keuntungan dari kelompok tersebut terletak pada bantuan dari teman dan terjadinya kegiatan belajar. Keberhasilan kelompok biasanya merupakan pencerminan perencanan dan upaya-upaya guru. Keberhasilan suatu kempok sangat tergantung pada anggota-anggotanya. Sebaiknya guru mulai dengan memberikan tugas yang jelas berupa keterampilan tertentu yang perlu ditingkatkan dalam suatu kelompok, kemudian baru memiliki anggota kelompok. I. Indikator Menyimak Indikator Menyimak di Kelas Rendah Kelas satu (5 1 /2 – 7 tahun) 1. Menyimak untuk menjelaskan, menjernihkan pikiran dan untuk mendapat jawaban atas pertanyaan. 2. Dapat mengulangi secara tepat apa-apa yang telah didengarkan. 3. Menyimak bunyi-bunyi tertentu pada kata-kata lingkungan. Kelas dua (6 1 /2 – 8 tahun) 72 1. Menyimak dengan kemampuan memilih yang meningkat. 2. Membuat saran-saran, usul-usul, dan mengemukakan pertanyaan untuk mengecek pengertiannya. 3. Sadar akan situasi, bila sebaiknya menyimak atau sebaliknya. Indikator Menyimak di Kelas Tinggi Kelas tiga dan empat (7 1 /2 – 10 tahun) 1. Sungguh-sungguh sadar akan nilai menyimak sebagai sumber informasi dan kesenangan. 2. Menyimak pada laporan orang lain, dengan maksud tertentu serta dapat menjawab pertanyaan yang bersangkutan dengan itu. 3. Memperlihatkan keangkuhan dengan kata-kata atau ekspresi yang tidak mereka pahami maknanya. Kelas lima dan enam (91 /2 – 11 tahun) 1. Menyimak secara kritis terhadap kekeliruan, kesalahan, propaganda, dan petunjuk yang keliru. 2. Menyimak pada aneka ragam cerita puisi, rima kata-kata, dan memperoleh kesenangan dalam menemui dalam tipe-tipe baru. J. Jenis-jenis Menyimak Menyimak berdasarkan sumber suara yang disimak: 1. Menyimak intra personal listening atau menyimak intra pribadi, yaitu sumber suara yang disimak dapat berasal dari diri sendiri. 2. Menyimak inter personal listening atau menyimak antarpribadi, yaitu sumber suara yang disimak berasal dari luar diri penyimak. Menyimak berdasarkan taraf aktivitas penyimak 1. Kegiatan bertaraf rendah/ silent listening, dalam kegiatan bertaraf rendah penyimak baru samapai pada kegiatan memberikan dorongan, perhatian, dan menunjang pembicaraan. Biasanya aktivitas itu bersifat non-verbal (mengangguk-angguk, senyum, sikap tertib dan penuh perhatian atau melalui ucapan-ucapan pendek seperti benar, saya setuju, ya dan sebagainya). 73 2. Kegiatan bertaraf tinggi/ active listening, penyimak sudah dapat mengutarakan kembali isi bahan simakan yang berarti penyimak sudah memahami isi bahan simakan. Menyimak berdasarkan taraf hasil simakan: 1. Menyimak tanpa mereaksi, yaitu penyimak mendengar sesuatu beruoa suara atau teriakan, namun yang bersangkutan tidak memberikan reaksi apa-apa. 2. Menyimak terputus-putus, yaitu pikiran penyimak bercabang, tidak terpusat kepada bahan simakan. Penyimak sebentar menyimak sebentar tidak menyimak kemudian menyimak kembali dan seterusnya 3. Menyimak terpusat, yaitu yaitu pikiran penyimak terfokus pada sesuatu misalnya pada aba-aba untuk mengetahui bila saatnya mengerjakan sesuatu. 4. Menyimak pasif, yaitu menyimak hampir sama dengan menyimak tanpa mereaksi namun dalam menyimak pasif sudah ada reaksi walau sedikit. 5. Menyimak dangkal, yaitu penyimak hanya menangkap sebagian isi simakan. Bagian-bagian penting tidak disimak, mungkin karena sudah mengetahui, menyetujui atau menerima. 6. Menyimak untuk membandingkan, yaitu penyimak menyimak sesuatu pesan kemudian membandingkan pesan tersebut dengan pengalaman dan pengetahuan penyimak yang relevan. 7. Menyimak organisasi materi, yaitu penyimak berusaha mengetahui organisasi materi yang disampaikan pembicara, ide pokoknya beserta detail penunjangnya. 8. Menyimak kritis, yaitu penyimak menganalisis secara kritis terhadap materi yang disampaikan pembicara. Bila diperlukan, penyimak minta data atau keterangan terhadap pernyataan yang disampaikan pembicara. 74 9. Menyimak kreatif dan apresiatif, yaitu penyimak memberikan responsi mental dan fisik yang asli terhadap bahan simakan yang diterima. (Green and Petty, 1969: hlm. 162) 75 VI. KETERAMPILAN BERBICARA A. Pengertian Keterampilan Berbicara Keterampilan berbicara merupakan keterampilan dalam menggunakan bahasa lisan. Untuk mendapatkan suatu keterampilan berbicara yang baik diperlukan suatu proses. Cook (dalam Murcia & Olshtain, 2001: 164) menyebutkan bahwa lisan terjadi karena dihasilkan dan diproses secara langsung, tidak ada pengulangan dan perubahan atau penataan kembali kata-kata sebagaimana di dalam menulis, tidak ada waktu istirahat dan berfikir, dan selagi berbicara atau menyimak, kita tidak dapat mengulang dan memperhatikan sebuah wacana. Bailey dan Savage (dalam Celce Murcia, 2001: 103) mengemukakan kemampuan berbicara pada suatu bahasa sama dengan mengenali bahasa itu, karena berbicara merupakan alat komunikasi manusia yang paling dasar. Brown (2001: 267) menyatakan bahwa keterampilan berbicara sangat erat berhubungan dengan keterampilan menyimak. Interaksi antara kedua performansi keterampilan tersebut diterapkan dengan kuat dalam percakapan. Hal tersebut menyatakan bahwa keterampilan berbicara tidak dapat dipisahkan dari pemahaman menyimak. Secara umum, semakin baik pemahaman menyimak siswa akan tercermin keterampilan berbicara yang lebih baik. Faktor-faktor, kondisi, dan komponen-komponen yang mendasari keefektifan berbicara perlu diperhatikan. Input bahasa dan aktivitas berbicara yang cukup, secara perlahan akan membantu siswa untuk mampu berbicara dengan fasih dan akurat. Gorys Keraf (dalam Depdikbud, 1996: 33) menerangkan hakikat keterampilan berbicara adalah sebagai berikut. 1. Keterampilan berbicara adalah keterampilan yang sangat penting untuk berkomunikasi. Untuk dapat berbicara dengan baik diperlukan keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara adalah wujud komunikasi yang utama. Dengan keterampilan berbicara kita mengontrol proses komunikasi. 76 2. Keterampilan berbicara adalah suatu proses yang kreatif. Dengan keterampilan berbicara kita dapat menyampaikan berbagai macam informasi (fakta, peristiwa, gagasan, pendapat, tanggapan, dan sebagainya), kita dapat mengemukakan kemauan dan keinginan, serta mengungkapkan berbagai macam perasaan dengan komunikasi yang aktif dan kreatif. 3. Keterampilan berbicara adalah hasil proses belajar. Keterampilan berbicara perlu sekali dikuasai oleh para siswa di sekolah. Keberhasilan berbicara yang baik dapat dikuasai melalui proses belajar dan berlatih secara teratur. Untuk itu diperlukan perencanaan pengajaran yang baik yang disusun berdasarkan kurikulum yang digunakan. Dalam perencanaan pengajaran keterampilan berbicara yang baik dikemukakan dengan jelas tujuan pengajaran yang hendak dicapai, materi, metode dan teknik serta kegiatan pembelajaran, serta menilai keberhasilan siswa. 4. Keterampilan berbicara adalah media untuk memperluas wawasan. Keterampilan berbicara merupakan media untuk memperluas pengetahuan dan wawasan siswa dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan keterampilan berbicara yang baik siswa dapat memperoleh informasi tentang apa, siapa, di mana, bilamana, mengapa, dan bagaimana mengenai berbagai hal yang siswa temui, baik lingkungan sekolah maupun masyarakat. 5. Keterampilan berbicara dapat dikembangkan dengan berbagai topik. Dengan mengambil topik pembicaraan dari mata pelajaran lain, pengajaran keterampilan berbicara akan memperoleh berbagai manfaat. Pertama, kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara akan lebih bersifat fungsional dalam menunjang keberhasilan siswa dalam mengikuti berbagai macam kegiatan pembelajaran di sekolah. Kedua, jangkauan topik pembicaraan yang diangkat dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara menjadi lebih luas sehingga topik yang dibicarakan bias bervariasi. Ketiga, pembelajaran keterampilan berbicara bisa merupakan salah satu wahana untuk mewujudkan 77 keinginan untuk menghubungkan pengajaran Bahasa Indonesia dengan mata-mata pelajaran yang lain. Berdasarkan pengertian keterampilan dan pengertian berbicara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau isi hati kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan yang dapat dipahami oleh orang lain. Aktivitas siswa yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan berbicara adalah dengan berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, salah satunya dengan bermain sosiodrama. Dengan sosiodrama siswa dapat berkomunikasi, menemukan pengalaman, meningkatkan pengetahuan, dan mengembangkan bahasanya sehingga keterampilan berbicara siswa dapat meningkat. A. Keterampilan Berbicara Siswa di SD Menurut Tarigan (2015: 16) berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan ataumenyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Sebagai perluasan dari bahasan ini dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang terlihat (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya; apakah dia bersikap tenang serta bisa menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia mengkomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta antusias atau tidak, Mulgrave (dalam Tarigan, 2015: 16). 78 Onch & Winker (dalam Tarigan, 2015: 17) mengatakan bahwa pembicaraan atau berbicara merupakan gaungan dari melaporkan dan menjamu begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan. Berikut ini beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara, yaitu membutuhkan paling sedikit dua orang, mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama, menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum, merupakan suatu pertukaran antara partidipan, menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan segera, berhubungan atau berkaitan dengan masa kini, hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus), secara tidak pandang bulu mengahdapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil. Pembelajaran berbicara harus berlandaskan konsep dasar berbicara sebagai sarana berkomunikasi dan sejumlah landasan lainnya. Menurut Logan (dalam Resmini dkk (2009: 151) konsep dasar berbicara sebagai sarana berkomunikasi mencakup beberapa hal, yakni: 1. Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal Kegiatan menyimak pasti diawali dengan kegiatan berbicara. Kegiatan berbicara baru berarti bila diikuti kegiatan menyimak. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya jawab dan sebagainya. 2. Berbicara adalah proses individu berkomunikasi Berbicara digunakan sebagai alat komunikasi, apabila dikaitkan dengan fungsi bahasa maka berbicara digunakan sebagai sarana memperoleh pengetahuan mengadaptasi, mempelajari lingkungannya, dan mengontrol lingkungannya. 3. Berbicara adalah ekspresi kreatif Melalui berbicara kreatif, manusia melakukan tidak sekedar menyatakan ide, tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Berbicara 79 bukan hanya mengkomunikasikan ide, tapi juga alat untuk menciptakan dan memformulasikan ide baru. 4. Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari Siswa memerlukan kesempatan berlatih dan belajar berbicara tidak ada orang yang langsung terampil berbicara tanpa melalui latihan. Berbicara adalah tingkah laku yang harus dipelajari, baru bisa dikuasai. Menurut Tarigan (dalam Resmini dkk 2009:152) keterampilan berbicara siswa harus dibina oleh guru melalui latihan pengucapan, pelafalan, pengontrolan suara, pengendalian diri, pengontrolan gerak-gerik tubuh, pemilihan kata, kalimat dan pelafalannya, pemakaian bahasa yang baik, dan pengorganisasian ide. 5. Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman Berbicara adalah ekspresi diri, bila seorang pembicara kaya dengan pengalaman, maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan pengetahuan atau pengalamannya. Bila pembicara miskinpengetahuan dan pengalaman maka yang bersangkutan akan mengalami kesukaran berbicara. 6. Berbicara sarana memperluas cakrawala Berbicara dapat digunakan untuk mengekspresikan ide, perasaan, imajinasi dan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala pengalaman. Dari rasa takjub terhadap keadaan sekitarnya, anak akan terus bertanya sehingga akan bertambah cakrawala mereka. 7. Kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat Anak merupakan produk lingkungan, jika dalam lingkungan hidupnya ia sering diajak berbicara dan segala pertanyaan diperhatikan dan dijawab, serta lingkungan itu sendiri menyediakan kesempatan untuk belajar dan berlatih berbicara maka dapat diharapkan anak tersebut terampil berbicara. 8. Berbicara adalah pancaran pribadi Salah satu aspek yang dapat dijadikan acuan kepribadian adalah bagaimana seseorang itu berbicara. Berbicara pada hakikatnya melukiskan 80 apa yang ada dalam hati, pikiran, perasaan, keinginan, ide dan lain-lain. Oleh karena itu, berbicara merupakan gambaran kepribadian. Pembicaraan merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan (Ochs and Winker dalam Tarigan, 2015:17) . berikut ini beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara menurut Tarigan (2015:17), antara lain: 1. Membutuhkan paling sedikit dua orang Pembicaraan dapat dilakukan oleh satu orang dan hal ini sering terjadi, misalnya oleh orang yang sedang mempelajari bunyi-bunyi bahasa beserta maknanya. 2. Mempergunakan satu sandi linguistik yang dipahami bersama Bahkan andaikatapun dipergunakan dua bahasa, namun saling pengertian, pemahaman bersama itu tidak kurang pentingnya. 3. Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum Darah referensi yang umum mungkin tidak selalu mudah dikenal/ditentukan, namun pembicaraan menerima kecenderungan untuk menemukan satu diantarana. 4. Merupakan suatu pertukaran antar partisipan Kedua pihak partisipan yang memberi dan menerima dalam pembicaraan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak. 5. Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan segera. Perilaku lisan sang pembicara selalu berhubungan dengan responsi yang nyata atau yang diharapkan, dari sang penyimak, dan sebaliknya. Jadi hubungan itu bersifat timbal balik atau dua arah. 6. Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini Hanya dengan bantuan berkas grafis material, bahasa dapat luput dari kekinian dan kesegeraan. 7. Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus) 81 Walau kegiatan-kegiatan dalam pita audio-lingual dapat melepaskan gerak-visual dan grafik material, namun sebaliknya tidak akan terjadi. 8. Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil. Keseluruhan lingkungan yang dapat dilambangkan oleh pembicaraan mencakup bukan hanya dunia nyata yang mengelilingi para pembicara tetapi juga secara tidak terbatas dunia gagasan yang lebih luas yang harus mereka masuki karena mereka dan manusia berbicara sebagai titik pertemuan kedua wilayah ini tetap memerlukan penelaahan serta uraian yang lebih lanjut dan mendalam (Brooks dalam Tarigan, 2015:18). Menurut Tarigan (2015:16), tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, seyogianyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan. Ada tujuh tujuan berbicara yang dikemukakan Tarigan, yaitu: 1. Berbicara untuk menghibur Difokuskan pada kegiatan berbicara untuk menyenangkan pendengar dengan bebagai cara. Biasanya berbicara dengan tujuan menghibur ini banyak dilakukan oleh pelawak atau orang yang biasanya melucu. 2. Berbicara untuk menginformasikan Dilaksanakan bila seseorang ingin menjelaskan suatu proses, menguraikan, menafsirkan atau mengionterpretasikan sesuatu hal, memberi, meneybarkan atau menanamkan pengetahuan, menjelaskan kaitan hubungan relasi antar benda atau peristiwa. 3. Berbicara untuk menstimulasi Pembicara harus pintar merayu, mempengaruhi, meyakinkan pendengarnya agar turut pada keingina pembicara. 4. Berbicara untuk meyakinkan Berbicara untuk meyakinkan pendengarannya akan sesuatu agar apa yang dibicarakan dapat dituruti dan dipahami kebenarannya. 82 5. Berbicara untuk menggerakan Berbicara dengan tujuan menstimulasi dan meyakinkan pada akhirnya dapat menggerakan pendengar yang mendengarkan. Menurut Tarigan (2015), paling sedikit ada lima landasan yang digunakan dalam mengkasifikasi berbicara. Kelima landasan tersebut adalah situasi, tujuan metode penyampaian, jumlah penyimak, peristiwa khusus, dan situasi. Aktivitas berbicara tidak mungkin berlangsung tanpa situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi maupun bersifat imformal atau tak resmi. Dalam situasi formal pembicara dituntut berbicara secara formal, sebaliknya dalam situasi tak formal pembicara harus berbicara secara tak formal. Jenis-jenis kegiatan berbicara informal meliputi: 1. Tukar pengalaman 2. Percakapan 3. Menyampaikan berita 4. Menyampaikan pengumuman 5. Bertelepon 6. Memberi petunjuk (logan dkk, dalam Tarigan 2015) Selain itu, ada pula jenis-jenis kegiatan berbicara formal, yaitu: 1. Ceramah 2. Perencanaan dan penilaian 3. Wawancara 4. Prosedur parlementer 5. Bercerita (Logan dkk, dalam Tarigan 2015) Arsjad (1987:35), menuliskan bahwa jenis-jenis berbicara antara lain diskusi kelompok meliputi diskusi panel, simposium, seminar, lokakarya, brainstorming, pidato dan ceramah. Untuk dapat berdiskusi, disamping menguasai matri juga dituntut mempunyai pengetahuan tentang 83 diskusi tersebut. Memiliki kemampuan berbicara dalam kelompok akan membantu keterampilan berbicara secara individual. Tarigan (2015: 24) mengatakan bahwa secara garis besar, berbicara dapat dibagi atas: 1. Berbicara dimuka umum pada masyarakat (public speaking) yang mencakup empat jenis, yaitu: a. Berbicara dalam situasi-situasi yang memberitahukan atau melaporkan. b. Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat kekeluargaan atau pesahabatan. c. Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan. d. Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat merundingkan dengan tenang dan hati-hati. 2. Berbicara pada konferensi (conference speaking) yang meliputi: a. Diskusi kelompok (group discussion), yang dapat dibedakan menjadi: – Tidak resmi (informal), dan masih dapat diperinci lagi atas: • Kelompok studi (study group) • Kelompok pembuat kebijaksanaan (policy making groups) • Komik – Resmi (formal) yang mencakup: • Konferensi • Diskusi panel • Simposium b. Prosedur parlementer (parlementary prosedure) c. Debat Menurut Arsjad (1987:87) untuk mengefektifkan berbicara, pembicara perlu memperhatikan faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor kebahasaaan antara lain: 84 1. Ketepatan ucapan, yang meliputi ketepatan pengucapan vokal dan konsonan. Pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih mengucapkan bunyi-bunyi bahasa. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkanperhatianpendengar. Artikulasi dan pola ucapan setiap siswa berbeda, masing-masing orang mempunyai ciri tersendiri. Sampai saat ini lafal bahasa Indonesia belum dibakukan, namun upaya kearah tersebut sudah lama dikemukakan, bahwa ucapan atau lafal yang baku dalam bahasa Indonesia adalah ucapan yang bebas dari ciri ciri dialek setempat atau ciri-ciri lafal daerah. Misalnya dalam pelafalan huruf, suku kata dan kata yang belum sesuai dengan pelafalan dalam bahasa Indonesia, seperti misalnya pelafalan /c/ dengan /se/, dalam kata WC dilafalkan /we-se/ seharusnya /we-ce/, kata AC dilafalkan /a-se/ seharusnya /a-ce/. 2. Penempatan tekanan. Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme yang sesuai akan menunjukkan daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan merupakan faktor penentu dalam keefektifan berbicara. Kurang tepatnya pembicara dalam peempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme akan menimbulkan perhatian pendengar berbalih kepada cara berbicara pembicara, sehingga topik atau pokok pembicaraan kurang diperhatikan. 3. Penempatan persendian. 4. Penggunaan nada taua irama. 5. Pilihan kata. 6. Pilihan ungkapan. 7. Variasi kata. Kata dan ungkapan yang digunakan dalam berbicara hendaknya baik, konkret dan bervariasi. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik akan sesuai dengan keadaan pendengarnya. Pilihlah kata yang jelas agar mudah dipahami oleh pendengar. 85 8. Tata bentukan. 9. Struktur kalimat. Susunan penuturan berhubungan dengan penataan pembicaraan atau uraian tentang sesuatu. Pembicaraan yang menggunakan kalimat efektif akan lebih memudahkan pendangar menangkap isi pembicaraan. 10.Ragam kalimat. Sementara itu, faktor nonkebahasaan yang dimaksudkan antara lain yaitu: 1. Keberanian dan semangat. Dalam kegiatan berbicara terjadi proses lahirnya buah pikiran atau pendapat secara lisan. Untuk dapat mengungkapkan pendapat tentang sesuatu diperlukan keberanian. Seseorang yang mengemukakan ide atau pendapat, harus memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. 2. Kelancaran. Dalam berbicara harus memiliki sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku. Bersikap wajar berbarti bersikap biasa sebagaimana adanya tidak mengada-ada. Sikap yang tenang adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa. Dan sikap tenang dapat menjadikan jalan pikiran dan pembicaraan menjadi lebih lancar. 3. Kenyaringan suara. Kenyaringan suara perlu diperhatikan oleh pembicara untuk menunjang keaktivan berbicara. Tingkat kenyaringan suara hendaknya disesuaikan dengan situasi, tempat, jumlah pendengar yang ada. 4. Pandangan mata. Pada waktu berbicara pandangan harus diarahkan pada lawan pembicara, baik dalam pembicaraan perseorangan ataupun kelompok. 5. Gerak-gerik dan mimik. Salah satu kelebihan dalam kegiatan berbicara dibandingkan dengan kegiatan berbahasa yang lainnya adalah adanya gerak-gerik dan mimik yang dapat memperjelas atau menghidupkan pembicaraan. 86 6. Keterbukaan. Keterbukaan dalam menghargai pendapat orang lain berarti menghormati atau mengindahkan pikiran orang lain, baik pendapat itu benar ataupun tidak. 7. Penalaran. Seorang pembicara hendaknya memperhatikan unsur penalaran yaitu, cara berfikir yang logis untuk sampai pada simpulan. Hal itu menunjukkan bahwa dalam pembicaraan seorang pembicara terdapat urutan pokok-pokok pikiran logis sehingga jelas arti atau makna pembicaraannya. 8. Penguasaan topik. Penguasaan topik pembicaraan berarti pemahaman suatu pokok pembicaraan. Dengan pemahaman tersebut seorang pembicara memiliki kesanggupan untuk mengemukakan topik itu kepada para pendengar. Taraf kemampuan berbicara peserta didik ketika masuk persekolahan sangat bervariasi mulai dari taraf baik atau lancar, sedang, gagap, atau kurang. Ada peserta didik yang lancar menyatakan keinginan, rasa senang, sedih, sakit atau letih. Bahkan mungkin dapat menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu wadah dalam taraf sederhana. Beberapa peserta didik lainnya masih malu-malu dan takut berdiri di hadapan teman sekelasnya. Bahkan tidak jarang kita lihat beberapa peserta didik berkeringat dingin, berdiri kaku, lupa segalanya bila ia dihadapkan peserta didik pada lainnya Djago Tarigan, dalam Resmini (2012). Kondisi peserta didik seperti ini digambarkan tadi, hendaknya menjadi landasan ketika guru melaksanakan pembelajaran berbicara di kelas. Artinya kemampuan peserta didik itu beragam sesuai dengan latar belakangnya masing-masing. Oleh karena itu, kemampuan awal peserta didik dalam berbicara harus menjadi catatan guru pada waktu pembelajaran berbicara dilaksanakan. Hal ini keliru bila seorang guru memperlakukan setiap peserta didik sama pada waktu berbicara. Bila itu terjadi, maka peserta didik yang masih malu- 87 malu atau takut berbicara di hadapan temannya tetapi disamakan dengan peserta didik yang sudah lancar dan berani berbicara, akan mendapat hambatan. Sebaliknya kemampuan setiap peserta didik diukur dari awal kemampuan peserta didik itu sendiri yang jelas berbeda-beda. Menurut Ari (2012) berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari dan dipahami secara berkelanjutan terutama di sekolah. Berbicara berhubungan dengan perkembangan kosa-kata yang diperoleh sang anak melalui kegiatan menyimak dan membaca di sekolah. Siswa yang belum matang dalam perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam kegiatan-kegiatan berbahasa. Juga perlu disadari bahwa keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara efektif dalam keterampilan berbahasa yang lainnya. Anak SD sudah mampu memahami tata bahasa dengan baik, kosa kata yang dikuasai mencapai kurang lebih seribu kata. Pada masa ini, anak anak jarang menggunakan kalimat-kalimat pasif, serta kalimat-kalimat yang menyatakan lampau. Pada usia ini, kemampuan berbicara anak menjadi sangat mirip dengan orang dewasa. Mereka berbicara dalam kalimat yang lebih panjang dan lebih rumit. Mereka lebih banyak menggunakkan kata hubung, kata depan dan artikel. Mereka menggunakan kalimat kompleks dan dapat menangani semua bagian pembicaraan. Selain itu, anak-anak pada usia SD berbicara dengan lancar, benar dan dapat dimengerti. Berikut ini merupakan tahapan perkembangan bicara anak (Ari: 2012) 1. Kurang dari 1 tahun a. Belum dapat mengucapkan kata-kata b. Belum dapat mengungkapkan bahasa dalam arti yang sebenarnya c. Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa 2. Usia 1 tahun a. Mulai mengoceh 88 b. Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya) c. Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik d. Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri perkembangan yang universal e. Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki arti konkret (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak) f. Mulai pengenalan semantik 3. Usai 2 tahun a. Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata b. Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam ucapan-ucapan tanpa kata petunjuk, kata depan atau betnuk lain yang seharusnya digunakan c. Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan betnuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa. d. Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek. 4. Usia taman kanak-kanak a. Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata b. Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai betnuk kalimat c. Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru 5. Usia sekolah dasar a. Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis b. Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa 6. Usia remaja a. Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri b. Usia ini merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa 7. Usia dewasa 89 a. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan. Pembelajaran bahasa Indonesia di SD bertujuan agar siswa dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi sesuai dengan konteks peristiwa tutur secara efektif dan santun. Pembelajaran keterampilan berbicara dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi yang bersifat produktif lisan secara efektif, baik yang dilakukan di luar kelas maupun di dalam kelas. Di luar kelas, siswa yang terampil berbicara tentunya akan lebih mudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik dan santun. Adapun di dalam kelas, keterampilan berbicara sangat penting dalam menunjang keberhasilan belajar siswa dalam mata pelajaran lain yang menuntut siswa untuk terampil melakukan diskusi, melaporkan, menceritakan kembali, menjelaskan, mendeskripsikan, dan menjawab pertanyaan guru, dan berbagai bentuk kegiatan berbicara lainnya. Tentu saja, keterampilan berbicara tidak hanya terkait dengan aspek berbahasa produktif lisan saja, namun siswa juga dituntut memiliki pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang luas yang mendukung kualitas pembicaraan yang dilakukannya. Dalam standar kompetensi lulusan untuk keterampilan berbicara adalah menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana, wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi. Standar kompetensi lulusan tersebut dicapai melalui serangkaian kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berdasarkan standar kompetensi mulai kelas I sampai dengan kelas VI. 90 Menurut Soelestijono (2012), dalam pembelajaran berbicara, hal hal yang penting diperhatikan guru antara lain: 1. Upaya kegiatan berbahasa yang dilakukan bersiat alamiah dan kontekstual 2. Pastikan pembelajaran berbicara dilakukan dalam bentuk aktivitas berbicara atau mengucapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan oleh siwsa 3. Kegiatan berbicara mensyaratkan siswa untuk berani mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan. Sebelum penugasan kegiatan berbicara, pastikan bahwa siswa yang bersangkutan telah memiliki keberanian untuk berbicara. Jika belum, guru dapat melatih keberanian berbicara dulu melalui berbagai metode dan strategi pembelajaran. Coba diskusikan dengan teman di samping Saudara tentang metode dan strategi pembelajaran yang dapat dilakukan guru untuk membiasakan siswa berani berbicara. 4. Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif, pembelajaran berbicara disarankan dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran aspek keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun antarmata pelajaran 91 VII. KETERAMPILAN MEMBACA A. Pengertian Keterampilan Membaca Membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Hal ini berarti membaca merupakan proses berpikir untuk memahami isi teks yang dibaca. Oleh sebab itu, membaca bukan hanya sekedar melihat kumpulan huruf yang telah membentuk kata, kelompok kata, kalimat, paragraf, dan wacana saja tetapi lebih dari itu bahwa membaca merupakan kegiatan memahami dan menginterpretasikan lambang/tanda/tulisan yang bermakna sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca. Menurut Tarigan (2015, hlm. 7) “membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis”. Membaca juga merupakan kegiatan berinteraksi dengan bahasa yang dikodekan dalam bentuk cetakan (Resmini, 2007, hlm. 75). Menurut Nurgiyantoro (dalam Kurniawati, 2012, hlm. 2) membaca merupakan aktivitas mental untuk memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian membaca adalah suatu proses pengolahan yang bermula dari kata untuk memperoleh pesan tertulis dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang isi bacaan dan merupakan kegiatan komunikasi tidak langsung antara penulis dan pembaca. 1. Tujuan Membaca Menurut Tarigan (2015, hlm. 9) tujuan utama membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Berikut ini, tujuan membaca menurut Anderson (dalam Tarigan, 2015, hlm. 9-11): 92 a. Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan yang telah dilakukan oleh tokoh; apa-apa yang telah dibuat oleh tokoh; apa yang telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh tokoh. Membaca seperti ini disebut membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts). b. Membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topik yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang dipelajari atau yang dialami tokoh, dan merangkumkan hal-hal yang dilakukan oleh tokoh untuk mencapai tujuannya. Membaca seperti ini disebut membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas). c. Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada setiap bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula pertama, kedua, dan ketiga/seterusnya – setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu masalah, adegan-adegan dan kejadian, kejadian buat dramatisasi. Ini disebut membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization). d. Membaca untuk menemukan serta mengetahui mengapa para tokoh merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak diperlihatkan oleh pengarang kepada para pembaca, mengapa para tokoh berubah, kualitas-kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal. Ini disebut membaca untuk menyimpulkan, membaca referensi (reading for inference). e. Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak wajar mengenai seseorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify). f. Membaca untuk menemukan apakah tokoh berhasil atau hidup dengan ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti yang diperbuat oleh tokoh, atau bekerja seperti cara tokoh bekerja dalam cerita itu. Ini 93 disebut membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading to evaluate). g. Membaca untuk menemukan bagaimana caranya tokoh berubah, bagaimana hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita mempunyai persamaan, dan bagaimana tokoh menyerupai pembaca. Ini disebut membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast). Untuk mencapai tujuan membaca, perlu digunakan beberapa cara dan penekanan yang tepat agar citra rasa dalam membaca benar-benar dapat dirasakan dengan baik. Adapun pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah (Yastuti, 2012, hlm. 4): a. Membaca harus selektif, artinya kita tidak bisa melaksanakan segala sesuatu yang kita sukai dipaksakan harus disukai oleh orang lain. Bahan bacaan yang kita senangi belum tentu disenangi oleh orang lain (siswa). b. Individual, artinya citra rasa juga bersifat selektif bagi setiap orang. Citra rasa terbentuk oleh karena ada kesamaan jiwa pengarang dengan pembaca. 2. Jenis-jenis Membaca Menurut Tarigan (Dalman, 2014, hlm. 63) mengemukakan bahwa secara garis besar membaca dibagi menjadi dua yaitu: a. Membaca Nyaring Membaca nyaring adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang merupakan alat bagi guru, murid ataupun pembaca bersama-sama dengan orang lain atau pendengar untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. b. Membaca dalam Hati Secara umum membaca dalam hati dibagai menjadi dua, yaitu: 1) Membaca ekstensif Membaca ekstensif berarti membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak mungkin teks dalam waktu yang sesingkat mungkin, meliputi: 94 a) Membaca survey Membaca survey merupakan membaca yang ditujukan untuk meneliti terlebih dahulu apa yang akan ditelaah. Hal ini biasanya dilakukan sebelum mulai membaca secara keseluruhan. b) Membaca sekilas Membaca sekilas atau skimming adalah sejenis membaca yang membuat mata bergerak dengan cepat, melihat, memperhatikan bahan tertulis untuk mencari dan mendapatkan informasi. c) Membaca dangkal Membaca dangkal ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang dangkal yang bersifat luaran dan tidak mendalam dari suatu bacaan. 2) Membaca intensif Membaca intensif dibagi menjadi dua, yaitu: a) Membaca telaah isi Membaca telaah isi ditujukan untuk mengetahui dan menelaah isi dari teks secara mendalam. b) Membaca telaah bahasa Membaca telaah bahasa dibedakan menjadi dua, yaitu membaca bahasa dan membaca sastra. . B. Komponen Kegiatan Membaca Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa kegiatan membaca terdiri dari dua komponen yaitu: a) proses membaca, dan b) produk membaca. a. Proses Membaca Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa proses membaca terdiri dari 9 aspek, yaitu sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran, pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan. Proses sensori visual menurut Farida Rahim (2008: 12) diperoleh dengan pengungkapan simbol-simbol grafis melalui indra penglihatan. Anak- 95 anak belajar membedakan secara visual simbol-simbol grafis (huruf atau kata) yang digunakan untuk mempresentasikan bahan lisan. Kegiatan perceptual dijelaskan Farida Rahim (2008: 12) sebagai aktivitas mengenal suatu kata sampai pada suatu makna berdasarkan pengalaman yang lalu. Aspek urutan merupakan kegiatan mengikuti rangkaian tulisan yang tersusun secara linear, yang umumnya tampil dalam satu halaman dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Pengalaman merupakan aspek penting dalam proses membaca. Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa anak-anak yang memiliki pengalaman banyak akan mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan pemahaman kosakata dan konsep yang mereka hadapi dalam membaca dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pengalaman terbatas. Untuk memahami makna bacaan, pembaca terlebih dahulu harus memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapinya. Kemudian pembaca membuat simpulan dengan menghubungkan isi preposisi yang terdapat dalam materi bacaan. Agar proses ini dapat berlangsung pembaca harus berpikir sistematis, logis, dan kreatif. Guru dapat membimbing siswa meningkatkan kemampuan berpikir melalui membaca dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Adapun pertanyaan pertanyaan yang diberikan sehubungan dengan bacaan tidak hanya pertanyaan yang menghasilkan jawaban yang berupa fakta. Proses membaca selanjutnya yaitu aspek asosiasi meliputi mengenal hubungan antara simbol dengan bunyi bahsa dan makna (Farida Rahim, 2008: 13). Selanjutnya, Farida Rahim (2008: 13) menerangkan bahwa masih ada aspek proses membaca yang lain yaitu sikap atau afektif berkenaan dengan kegiatan memusatkan perhatian, membangkitkan kegemaran membaca, menumbuhkan motivasi membaca ketika sedang membaca. Motivasi dan kesenangan membaca sangat membantu siswa untuk memusatkan perhatian pada membaca. 96 Aspek dari proses membaca yang terakhir menurut Farida Rahim (2008: 13) adalah pemberian gagasan dimulai dengan penggunaan sensori dan perseptual dengan latar belakang pengalaman dan tanggapan afektif serta membangun makna teks yang dibacanya secara pribadi. Makna dibangun berdasarkan pada teks yang dibacanya, tetapi tidak seluruhnya ditemui di dalam teks. Pembaca akan menghasilkan makna yang berbeda dari teks yang sama jika pengalaman dan reaksi afektif dari pembaca tersebut berbeda (Farida Rahim, 2008:14). b. Produk Membaca Komponen kegiatan membaca yang kedua yaitu produk membaca. Farida Rahim (2008: 12) menjelaskan bahwa produk membaca merupakan komunikasi dari pemikiran dan emosi antara penulis dan pembaca. Komunikasi juga bisa terjadi dari konstruksi pembaca melalui integrasi pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dengan informasi yang disajikan dalam teks. Komunikasi dalam membaca tergantung pada pemahaman yang dipengaruhi oleh seluruh aspek proses membaca. C. Aspek-aspek Membaca Henry Guntur Tarigan (1985: 11) menjelaskan ada dua aspek penting dari membaca yaitu keterampilan yang bersifat mekanis dan keterampilan yang bersifat pemahaman. Keterampilan yang bersifat mekanis (mechanical skills) yaitu keterampilan yang berada pada kedudukan yang lebih rendah. Aspek ini menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 11) mencakup pengenalan bentuk huruf, pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan lain-lain), pengenalan hubungan/ korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis), dan kecepatan membaca bertaraf lambat. Adapun keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 11) yaitu keterampilan yang berada pada kedudukan yang lebih tinggi. Aspek ini mencakup memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), memahami signifikasi 97 atau makna, evaluasi atau penilaian, kecepatan membaca fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan. D. Prinsip-prinsip Membaca Burns (1982) mengemukakan 14 prinsip pengajaran membaca. Prinsip-prinsip yang dikemukakan didasarkan pada generalisasi hasil penelitian tentang pengajaran membaca dan pada hasil observasi praktik membaca. Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat mengarahkan guru dalam merencanakan pengajaran membaca. Berikut dipaparkan keempat belas prinsip tersebut. 1. Membaca adalah tindakan kompleks dengan banyak faktor yang harus dipertimbangkan. 2. Membaca merupakan proses interpretasi terhadap makna dari simbol simbol yang tertulis 3. Membaca melibatkan kegiatan mengkonstruksi makna dari passage makna dari bagian yang tertulis 4. Tidak ada satu cara yang paling tepat untuk mengajarkan membaca 5. Belajar membaca merupakan proses yang berkelanjutan 6. Siswa harus diajari pengenalan kata yang memungkinkan mereka dapat mengenali pelafalan dan makna kata-kata sulit secara independen 7. Guru harus mendiagnosis kemampuan membaca siswa dan menggunakan hasil diagnosisi tersebut sebagai dasar untuk merencanakan pengajaran 8. Membaca dann keterampilan berbahasa lainnya sangat berkaitan 9. Membaca merupakan bagian integral dari semua area isi pengajaran dalam program pendidikan. 10.Siswa perlu untuk mengetahui mengapa membaca itu penting 11.Kesenangan membaca harus dianggap sebagai hal yang penting 12.Kesiapan membaca harus dipertimbnagkan dalam semua level pembelajaran 13.Membaca harus diajarkan melalui cara yang menngarahkan siswa untuk mengalami kesuksesan 98 14.Pentingnya dorongan untuk mengarahkan dan memantau diri dalam proses Membaca E. Indikator Membaca di Kelas Rendah 1. Pengertian membaca di kelas rendah Pembelajaran membaca pada kelas rendah (kelas 1,2,3) merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca pada kelas rendah tersebut akan menjadi dasar pembeljaran membaca di kelas-kelas berikutnya. Membaca permulaan menekankan pada proses penyandian membaca secara mekanikal. Membaca permulaan mengacu pada proses recoding dan decoding . Membaca merupakan suatu proses yang bersifat fisik dan psikologis. Proses yang bersifat fisik berupa kegiatan mengamati tulisan secara visual. Dengan indera visual, pembaca mengenali dan membedakan gambar-gambar bunyi serta kombinasinya. Melalui proses recoding, pembaca mengasosiasikan gambar-gambar bunyi beserta kombinasinya itu dengan bunyi-bunyinya. Dengan proses tersebut, rangkaian tulisan yang dibacanya menjelma menjadi rangkaian bunyi bahasa dalam kombinasi kata, kelompok kata, dan kalimat yang bermakna. Disamping itu, pembaca mengamati tanda-tanda baca untuk membantu memahami maksud baris-baris tulisan. Proses psikologis berupa kegiatan berpikir dalam mengolah informasi. Melalui proses decoding, gambar-gambar bunyi dan kombinasinya diidentifikasi, diuraikan kemudian diberi makna. Proses ini melibatkan knowledge of the world dalam skemata yang berupa kategorisasi sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan dalam gudang ingatan. Menurut La Barge dan Samuels proses membaca permulaan melibatkan tiga komponen, yaitu (a) visual memory (vm), (b) phonological memory (pm), dan (c) semantic memory (sm). Lambang lambang fonem tersebut adalah kata, dan kata dibentuk menjadi kalimat. Proses pembentukan tersebut terjadi pada ketiganya. Pada tingkat visual memory (VM), huruf, kata dan kalimat terlihat sebagai lambang grafis, sedangkan pada tingkat phonological memory (PM) terjadi proses pembunyian lambang. Lambang tersebut juga dalam 99 bentuk kata, dan kalimat. Proses pada tingkat ini bersumber dari visual memory (VM) dan phonological memory (PM). Akhirnya pada tingkat semantic memory (SM) terjadi proses pemahaman terhadap kata dan kalimat. Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memperoleh kemampuan membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a) lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c) memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Pada tingkatan membaca permulaan, pembaca belum memiliki ketrampilan kemampuan membaca yang sesungguhnya, tetapi masih dalam tahap belajar untuk memperoleh ketrampilan atau kemampuan membaca. Membaca pada tingkatan ini merupakan kegiatan belajar mengenal bahasa tulis. Melalui tulisan itulah siswa dituntut dapat menyuarakan lambang-lambang bunyi bahasa tersebut,untuk memperoleh kemampuan membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a) lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c) memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Membaca permulaan merupakan suatu proses ketrampilan dan kognitif. Proses ketrampilan menunjuk pada pengenalan dan penguasaan lambang-lambang fonem, sedangkan proses kognitif menunjuk pada penggunaan lambang-lambang fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu kata atau kalimat. 2. Tujuan Membaca Permulaan Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I, II, dan III. Tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Tujuan membaca permulaan juga dijelaskan dalam (Depdikbud, 1994:4) yaitu agar “Siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat sederhana dengan lancar dan tepat“. Pelaksanaan membaca permulaan di kelas I Sekolah Dasar dilakukan dalam dua tahap, yaitu membaca periode tanpa buku dan membaca dengan menggunakan buku. Pembelajaran membaca tanpa 100 buku dilakukan dengan cara mengajar dengan menggunakan media atau alat peraga selain buku misalnya kartu gambar, kartu huruf, kartu kata dan kartu kalimat. Pembelajaran membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan menggunakan buku sebagai bahan pelajaran. 3. Pentingnya membaca permulaan Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru, sebab jika dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai. Padahal kemampuan membaca sangat diperlukan oleh setiap orang yang ingin memperluas pengetahuan dan pengalaman, mempertinggi daya pikir, mempertajam penalaran, dan memperluas wawasan, untuk mencapai kemajuan dan peningkatan diri. Oleh sebab itu, bagaimana pun guru kelas rendah (kelas 1,2,3) harusah berusaha sungguh-sungguh agar ia dapat memberikan dasar kemampuan membaca yang memadai kepada anak didik. Hal itu akan dapat tewujud melalui pelaksanaan pembelajaran yang baik. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang baik, perlu ada perencanaan baik materi, metode, maupun pengembangannya. 4. Perkembangan Membaca Permulaan Kemampuan awal membaca mungkin diperoleh melalui interaksi sosial bukan melalui pembelajaran formal. Dalam kegiatan membaca cerita yang dilakukan oleh orang tua, tampak baik orang tua maupun anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Orang tua menggunakan berbagai teknik agar anak memusatkan perhatian, mengajukan pertanyaan, dan mendorong agar anak mencoba membaca. Orang tua juga berperan sebagai guru sebaiknya memperkenalkan buku-buku cerita kepada anak sedini mungkin. Tentu saja buku yang digunakan adalah yang banyak gambarnya dan berwarna-warni sehingga 101 menarik perhatian anak. Pada awalnya memang anak hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada pada buku tersebut. Namun, apabila orang tua kadang-kadang membacakan cerita yang ada di samping gambar-gambar tersebut, hal itu secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang susunan ceritanya. Di samping kegiatan membaca yang dilakukan orang tua, acara acara televisi ada yang bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan membaca. Sebagai contoh dora dan A Ba Ta Tsa (Neno Warisman). Melalui kegiatan-kegiatan tersebut anak-anak secara tidak langsun mempelajari tulisan-tulisan yang mengandung informasi yang mereka peroleh. Ada beberapa fase perkembangan membaca, yaitu: a. Fase pramembaca (3-6 tahun) anak-anak mengenal huruf dan mempelajari perbedaan huruf dan angka. Kebanyakan anak akan mengenal nama jika ditulis. b. Fase ke-1 (7-8 tahun) kira-kira anak kelas dua, anak-anak memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata sederhana melalui cerita. c. Fase ke-2 kira-kira kelas tiga dan empat anak-anak dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola tulisan. d. Fase ke-3 dari kelas empat sampai kelas dua SMP, anak dapat memahami bacaan. e. Fase ke-4 pada akhir SMP sampai SMA anak mampu mneyimpulkan dan mengenal maksud penulisan dalam bacaan. f. Fase ke-5 pada tingkat perguruan tinggi dan seterusnya, orang dewasa dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dan menanggapi materi bacaan secara kritis. 5. Persiapan membaca permulaan Langkah-langkahnya yaitu : a. Penguatan prosedur kelas (siswa focus dan tenang) dan etika membaca (menjaga kebersihan buku, berbagi bila buku digunakan bersama). 102 b. Cara duduk siswa (posisi duduk tegak) c. Cara membuka buku (dari halaman depan ke belakang) d. Mengatur jarak mata ke buku (jarak pandang antara mata dan buku ± 40 cm) e. Melatih cara membaca dari kiri ke kanan. 6. Faktor yang menyebabkan anak kesulitan membaca permulaan Membaca merupakan proses memperoleh makna dari barang cetak (Spodek dan Sacacho, 1994 dalam http://digilib.unnes.ac.id). Dalam praktek lapangan, banyak kita jumpai pada anak usia SD, terutama di kelas rendah masih terhitung banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar dalam hal membaca bacaan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal (yang berasal dari diri pembaca) maupun faktor eksternal (yang berasal dari luar diri pembaca). Faktor internal antara lain meliputi : minat baca, kepemilikan kompetensi pembaca, motivasi dan kemampuan pembacanya. Sedangkan faktor eksternal antara lain meliputi unsur-unsur yang berasal dari lingkungan baca. a. Faktor Internal 1) Minat baca Minat merupakan kegiatan siswa dengan penuh kesadaran terhadap suatu objek, oleh karena itu minat perlu dikembangkan dan dilatih dengan pembiasaan- pembiasaan terus menerus. Jika minat baca anak rendah maka tingkat keberhasilan anak dalam membaca akan sulit tercapai. Minat baca anak harus ditumbuhkembangkan sejak dini. Dan untuk membangkitkan minat baca siswa, guru harus memberikan motivasi dan bimbingan pada diri siswa. 2) Motivasi Kegiatan pembelajaran akan berhasil dan tercapai tujuannya jika dalam diri siswa tertanam motivasi. Motivasi dalam 103 proses pembelajaran berfungsi untuk: fungsi membangkitkan (arousal function) yaitu mengajak siswa belajar, fungsi harapan (expectasi function) yaitu apa yang harus bisa dilakukan setelah berakhirnya pengajaran, fungsi intensif (incentive function) yaitu memberikan hadiah pada prestasi yang akan datang, (4) fungsi disiplin (disciplinary function) yaitu menggunakan hadiah dan hukuman untuk mengontrol tingkah laku yang menyimpang (Abd. Rachman, 1993 : 115 dalam http://digilib.unnes.ac.id) 3) Kepemilikan Kompetensi Membaca Keterampilan berbahasa ada empat, yaitu : keterampilan membaca, berbicara, menyimak dan menulis. Keterampilan dalam membaca diperlukan latihan- latihan tahap demi tahap. Kegiatan membaca terkait dengan pengenalan huruf, bunyi dan huruf atau rangkaian kata, makna atau maksud dan pemahaman terhadap makna atau maksud. Jika kegiatan membaca tidak dilakukan secara teratur maka keterampilan membaca yang dimiliki anak akan berkurang dengan sendirinya. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal ini meliputi unsur-unsur yang berasal dari lingkungan baca. Dalam hal ini sekolah sebagai pusat kebudayaan harus menciptakan siswa yang gemar membaca melalui perpustakaan sekolah. Sekolah harus dapat menciptakan suasana perpustakaan yang menyenangkan dan memberi kenyamanan siswa dalam belajar. Lingkungan baca sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan membaca anak. Lingkungan baca anak yang menyenangkan akan memberi kenyamanan bagi si pembaca dan mempermudah anak dalam membaca. 104 7. Kesulitan yang dihadapi anak dalam membaca permulaan Dalam pelaksanaan pengajaran membaca, guru seringkali dihadapi pada anak yang mengalami kesulitan belajar membaca khususnya di kelas rendah. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain : a. Kurang mengenali huruf b. Ketidakmampuan anak dalam mengenal huruf-huruf alfabetis seringkali dijumpai oleh guru yang sulit membedakan huruf besar / kapital dan huruf kecil. 1) Membaca kata demi kata Jenis kesulitan ini biasanya berhenti membaca setelah membaca sebuah kata, tidak segera diikuti dengan kata berikutnya. Hal ini disebabkan oleh : a) Gagal menguasai keterampilan pemecahan kode (decoding). b) Gagal memahami makna kata. c) Kurang lancar membaca. 2) Pemparafase yang salah Dalam membaca anak seringkali melakukan pemenggalan (berhenti membaca) pada tempat yang tidak tepat atau tidak memperhatikan tanda baca, khususnya tanda koma. 3) Miskin pelafalan Ketidaktepatan pelafalan kata disebabkan anak tidak menguasai bunyi-bunyi bahasa (fonem). 4) Penghilangan Penghilangan yang dimaksud adalah menghilangkan (tidak dibaca) kata atau frasa dari teks yang dibacanya. Biasanya disebabkan ketidakmampuan anak mengucapkan huruf huruf yang membentuk kata. 5) Pengulangan 105 Kebiasaan anak mengulangi kata atau frasa dalam membaca disebabakan oleh faktor tidak mengenali kata, kurang menguasai huruf, bunyi, atau rendah keterampilannya. 6) Pembalikan Beberapa anak melakukan kegiatan membaca dengan menggunakan orientasi dari kanan ke kiri. Kata nasi dibaca isan. Selain itu, pembalikan juga dapat terjadi dalam membunyikan huruf-huruf, misal huruf b dibaca d, huruf p dibaca g. Kesulitan ini biasanya dialami oleh anak-anak kidal yang memiliki kecenderungan menggunakan orientasi dari kanan ke kiri dalam membaca dan menulis. 7) Penyisipan Kebiasaan anak untuk menambahkan kata atau frase dalam kalimat yang dibaca juga dipandang sebagai hambatan dalam membaca, misalnya, anak menambah kata seorang dalam kalimat “anak sedang bermain”. 8) Penggantian Kebiasaan mengganti suatu kata dengan kata lain disebabkan ketidakmampuan anak membaca suatu kata, tetapi dia tahu dari makna kata tersebut. Misalnya, karena anak tidak bisa membaca kata mengunyah maka dia menggantinya dengan kata makan. 9) Menggunakan gerak bibir, jari telunjuk dan menggerakkan kepala Kebiasaan anak menggerakkan bibir, menggunakan telunjuk dan menggerakan kepala sewaktu membaca dapat menghambat perkembangan anak dalam membaca. 10)Kesulitan konsonan 106 Kesulitan dalam mengucapkan bunyi konsonan tertentu dan huruf yang melambangkan konsonan tersebut. 11) Kesulitan vokal Dalam bahasa Indonesia, beberapa vokal dilambangkan dalam satu huruf, misalnya e selain melambangkan bunyi e juga melambangkan bunyi é (dalam kata keras, kepala, kerang, telah dan sebagainya) huruf-huruf yang melambangkan beberapa bunyi seringkali menjadi sumber kesulitan anak dalam membaca. 12) Kesulitan kluster, diftong dan digraf Dalam bahasa Indonesia dapat dijumpai adanya kluster (gabungan dua konsonan atau lebih), diftong (gabungan dua vokal), dan digraf (dua huruf yang melambangkan satu bunyi). Ketiga hal tersebut merupakan sumber kesulitan anak yang sedang belajar membaca. 13)Kesulitan menganalisis struktur kata Anak seringkali mengalami kesulitan dalam mengenali suku kata yang membangun suatu kata. Akibatnya anak tidak dapat mengucapkan kata yang dibacanya. 14) Tidak mengenali makna kata dalam kalimat dan cara mengucapkannya Hal ini disebabkan kurangnya penguasaan kosakata, kurangnya penguasaan struktur kata dan penguasaan unsur konteks (kalimat dan hubungan antar kalimat). 8. Bimbingan untuk Mengatasi Kesulitan Anak dalam Membaca Permulaan Peran guru sebagai fasilitator sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan peningkatan belajar anak. Keberhasilan belajar anak tidak lepas dari cara guru membimbing dan mendidik 107 siswanya. Bimbingan yang harus dilakukan guru dalam menghadapi anak yang mengalami kesulitan membaca antara lain : a. Bimbingan terhadap anak yang kurang mengenali huruf Langkah yang harus ditempuh guru dalam membantu anak yang mengalami kesulitan kurang mengenali huruf ini dapat berupa: 1) Huruf dijadikan bahan nyanyian. 2) Menampilkan huruf dan mendiskusikan bentuk (karakteristiknya) khususnya huruf-huruf yang memiliki kemiripan bentuk (misalnya p, b, dan d). b. Bimbingan terhadap anak yang membaca kata demi kata Langkah yang dilakuan guru untuk mengatsi anak yang mengalami kesulitan jenis ini adalah : 1) Gunakanlah bacaan yang tingkat kesulitannya rendah. 2) Anak disuruh menulis kalimat dan membacanya dengan keras. 3) Jika kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya penguasaan kosakata, maka perlu pengayaan kosakata. 4) Jika anak tidak menyadari bahwa dia membaca kata demi kata, rekamlah kegiatan anak membaca dan putarlah hasil rekaman tersebut. c. Bimbingan terhadap anak yang salah memparafrase. Langkah yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ini yaitu dengan cara: 1) Jika kesalahan disebabkan ketidaktahuan anak terhadap makna kelompok kata (frasa), sajikan sejumlah kelompok kata dan latihkan cara membacanya. 2) Jika kesalahan disebabkan oleh ketidaktahuan anak tentang tanda baca, perkenalkan fungsi tanda baca dan cara membacanya. 108 3) Berikan paragraf tanpa tanda baca, suruhlah anak untuk membacanya. 4) Selanjutnya ajaklah anak untuk menuliskan tanda baca pada paragraf tersebut. d. Bimbingan terhadap anak yang miskin pelafalan Untuk mengatasi kesulitan pelafalan, guru dapat menggunakan cara berikut : 1) Bunyi-bunyi yang sulit diucapkan perlu diajarkan secara tersendiri. 2) Bagi anak yang tidak dapat mengucapkan kata secara tepat berikan latihan khusus pengucapan kata-kata tertentu yang dipandang sulit. e. Bimbingan terhadap anak yang mengalami penghilangan kata Untuk mengatasi hal ini ditempuh cara : 1) Anak disuruh membaca ulang. 2) Kenali jenis kata atau frasa yang dihilangkan. 3) Berikan latihan membaca kata atau frasa. f. Bimbingan terhadap anak yang sering mengulangi kata Upaya yang dilakukan guru dalam hal ini antara lain : 1) Anak perlu disadarkan bahwa mengulang kata dalam membaca merupakan kebiasaan buruk. 2) Kenali jenis kata yang sering diulang. 3) Siapkan kata atau frasa jenis untuk dialatihkan. g. Bimbingan terhadap anak yang sering melakukan pembalikan kata Upaya mengatasi kesulitan ini dapat dikukuhkan dengan cara sebagai berikut : 1) Anak perlu disadarkan bahwa membaca (dalam bahan yang menggunakan sistem alfabetis) menggunakan orientasi dari kiri ke kanan. 109 2) Bagi anak yang kurang menguasai hubungan huruf-bunyi, siapkan kata-kata yang memiliki bentuk serupa untuk dilatihkan. 3) Latihan hendaknya dilakukan dalam bentuk kata yang bermakna, misalnya : huruf p dan b dilatihkan dengan menggunakan kata pagi dan bagi h. Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menyisipkan kata Untuk mengatasi hal ini, bimbinglah anak dengan menyuruh anak membaca dengan pelan-pelan dan mengingatkan bahwa dia telah menambahkan kata dalam membaca. i. Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan mengganti suku kata Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan cara: 1) Gunakan bahan bacaan yang teramsuk kategori mudah. 2) Identifikasi kata-kata yang sulit diucapkan oleh anak. 3) Latihkan cara mengucapkan kata-kata tersebut. j. Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menggunakan gerak bibir, jari telunjuk dan menggerakan kepala. Untuk mengubah kebiasaan anak yang selalu menggerakkan bibir sewaktu membaca dalam hati, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1) Anak disuruh mengumumkan suatu kalimat, selanjutnya suruh anak untuk mengulangi membaca kalimat tersebut tanpa mengunyam. 2) Jelaskan pada anak bahwa membaca mengunyam dapat menghambat keefektifan membaca. k. Sedangkan untuk menghadapi anak yang menggunakan jari telunjuk dalam membaca, dapat dilakukan kegiatan berikut. 1) Perhatikan apakah anak mengalami gangguan mata. 110 2) Gunakan bacaan yang cetakannya besar dan jelas. 3) Latihkan teknik membaca prosa. 4) Peringkatkan anak untuk tidak menggunakan jari telunjuk dalam membaca. l. Bimbingan terhadap anak yang kesulitan mengucapkan bunyi konsonan dapat dilakukan bimbingan antara lain : 1) Kembangkan anak dalam mendengarkan konsonan yang sulit misalnya tuliskan kata-kata yang dimulai dengan konsonan (depan, adat, dapat, diri dan sebagainya). 2) Suruh anak mencari dan mengumpulkan kata yang didalamnya terkandung konsonan tersebut. 3) Latihkan anak mengucapkan kata-kata yang didalamnya terkandung 4) Konsonan. m. Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan vokal, untuk mengatasi anak yang mengalami kesulitan ini dapat dilakukan : 1) Tanamkan pengertian pada diri anak bahwa huruf-huruf tertentu dalam 2) melambangkan lebih dari satu bunyi misalnya : huruf e dapat melambangkan bunyi e dan é. 3) Berikan contoh huruf e yang melambangkan bunyi e dan é dalam kata-kata 4) Ajaklah anak mengumpulkan kata yang didalamnya terkandung huruf tersebut. n. Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan kluster, diftong dan digraf Untuk mengatasi kesulitan ini lakuka : 1) Kenalkan kluster (misalnya st, kl, gr, pr, sw), diftong (misalnya ai, oi, ui) dan digraf (misalnya sy, ng, kh, dan ny) dalam kata atau kalimat. 111 2) Tuliskan kata atau kalimat yang mengandung kluster, diftong, dan digraf. 3) Mintalah anak untuk mengumpulkan kata-kata yang di dalamnya terkandung kluster, diftong, dan digraf. 4) Perintahkan anak membacakan kata-kata yang telah dikumpulkan. o. Bimbingan terhadap anak yang kesulitan menganalisis struktur kata Untuk mengatasi kesulitan ini lakukanlah : 1) Catatlah kata-kata yang seringkali dipandang sulit untuk diucapkan oleh anak. 2) Perkenalkan kata-kata yang seringkali dipandang sulit untuk diucapkan oleh anak. 3) Perkenalkan kata-kata tersebut kepada anak dengan memanfaatkan metode yang ada. 4) Suruhlah anak mencari kata-kata lain yang sejenis dan membacanya. p. Bimbingan terhadap anak yang sulit mengenali makna kata dalam kalimat dan cara mengucapkannya. Untuk mengatasi anak yang mengalami kesulitan ini lakukan: 1) Ambil satu kata dan daftarkan kata turunannya (misalnya kata : membaca, membacakan, dibaca, dibacakan, bacaan, dan terbaca). 2) Bimbinglah anak untuk mengenali kata baca dan turunannya yang terdapat dalam bacaan tersebut. 3) Alihkan pada kata lain (misalnya kata tulis, gambar, makan, lari dan sebagainya). 112 F. Indikator Membaca di Kelas Tinggi 1. Pengertian Membaca di Kelas Tinggi Pembelajaran membaca pada kelas tinggi (kelas 4,5,6) merupakan pembelajaran membaca lanjutan. Pembelajaran membaca lanjutan diberikan di kelas IV, V, VI yang bertujuan agar siswa memiliki kemampuan menyimak, menginterpretasi, mengevaluasi, memahami ide pokok dari suatu bacaan. Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah sejenis membaca yang bertujuan untuk memahami: 1. Standar atau norma-norma sesastraahn (letery standards) 2. Resensi kritis (critical review) 3. Drama tulis (printed drama) 4. Pola-pola fiksi (patterns of fiction) Membaca pemahaman adalah suatu proses untuk mengenali atau mengidentifikasi teks, kemudian mengingat kembali isi teks. Membaca pemahaman juga dapat berarti sebagai suatu kegiatan membuat urutan tentang uraian/menggorganisasi isi teks, bisa mengevaluasi sekaligus dapat merespon apa yang tersurat atau tersirat dalam teks. Pemahaman berhubungan laras dengan kecepatan. Pemahaman atau comprehension, adalah kemampuan membaca untuk mengerti: ide pokok, detail penting, dan seluruh pengertian. 2. Tujuan Membaca di Kelas Tinggi Tujuan utama dalam membaca adalah mendapatkan informasi yang tepat dan benar. Hal ini ditegaskan oleh Rahim (2007: 11) membaca bertujuan untuk mendapatkan informasi atau pesan dari teks. Membaca dengan tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkan dengan yang tidak mempunyai tujuan. Menurut Tarigan (2008: 9) tujuan utama dalam membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami 113 makna, arti (meaning) erat sekali hubungannya dengan maksud tujuan atau intensif kita dalam membaca. Hal ini sesuai pendapat Nurhayati (2009: 4) bahwa tujuan membaca mempunyai kedudukan yang sangat penting karena akan berpengaruh pada proses membaca dan pemahaman membaca. Resmini (2006: 94) menjelaskan bahwa pembelajaran membaca harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan tersebut yaitu: a. menikmati keindahan yang terkandung dalam bacaan. b. membaca bersuara memberikan kesempatan kepada siswa menikmati bacaan. c. menggunakan strategi tertentu untuk memahami bacaan. d. menggali simpanan pengetahuan atau schemata siswa tentang suatu topik. e. menghubungkan pengetahuan baru dengan schemata siswa. f. mencari informasi untuk pembuatan laporan yang akan disampaikan dengan lisan dan tertulis. g. melakukan penguatan dan penolakan terhadap ramalan ramalan yang dibuat oleh siswa sebelum melakukan perbuatan membaca. h. memberikan kesempatan kepada siswa melakukan eksperimentasi untuk meneliti sesuatu yang dipaparkan dalam sebuah bacaan. i. mempelajari struktur bacaan. j. menjawab pertanyaan khususnya yang dikembangkan oleh guru atau sengaja diberikan oleh penulis bacaan. Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa tujuan membaca adalah mendapatkan informasi dari bacaan sesuai dengan tujuan masing-masing pembaca. Membaca dengan suatu tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai tujuan dalam membaca, dan akan dengan mudah memperoleh banyak pengetahuan tentang isi, makna, arti dari suatu bahan bacaan. 114 3. Tahap Pembelajaran Membaca di Kelas Tinggi Dalam proses pembelajaran khususnya di kelas tinggi ada beberapa hal yang mendasari system pengajaran tersebut yaitu : a. Tahap Menyimak Dalam kegiatan menyimak ada tahapan yang harus dilakukan oleh penyimak agar penyimak benar-benar memahami informasi yang disimaknya. Tahapan itu adalah: (a) Tahap mendengar Dalam tahap ini, kita baru mendengar segala sesuatu yang dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya. Jadi kita masih berada dalam tahap hearing. (b) Tahap memahami Setelah kita mendengar, akan ada keinginan bagi kita untuk mengerti atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan oleh sang pembicara. Maka sampailah, kita dalam tahap pemahaman. (c) Tahap menginterpretasi Dalam tahap ini, penyimak yang baik, yang cermat dan teliti, belum puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran sang pembicara; dia ingin menafsirkan atau rnenginterpretasikan isi, butirbutir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran itu. Dengan demikian, sang penyimak telah tiba pada tahap interpreting. (d) Tahap mengevaluasi Setelah memahami serta dapat menafsir atau menginterpretasikan isi pembicaraan, sang penyimak pun mulailah menilai atau mengevaluasi pendapat serta gagasan sang pembicara, di mana keunggulan dan kelemahan, di mana kebaikan dan kekurangan sang pembicara; maka dengan demikian sudah sampai pada tahap evaluating. 115 b. Tahap Menanggapi Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam kegiatan menyimak; sang penyimak menyambut, mencamkan, menyerap serta menerima gagasan atau ide yang dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya; sang penyimak pun sampailah pada tahap menanggapi (responding). Tanggapan dapat berupa penolakan atau pendapat. 116 KETERAMPILAN MENULIS A. Pengertian Menulis Menulis merupakan salahsatu keterampilan berbahasa, menulis merupakan sebuah kegiatan untuk menuangkan ide atau gagasan ke dalam sebuah tulisan. Menulis adalah sebuah proses, yaitu proses penuangan gagasan atau ide ke dalam bahasa tulis yang dalam praktiknya proses menulis diwujudkan dalam beberapa tahapan yang merupakan sistem yang utuh. Menulis, seperti juga halnya ketiga keterampilan berbahasa lainnya, merupakan suatu proses perkembangan. Menulis menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, pelatihan keterampilan-keterampilan khusus, dan pengajaran langsung menjadi penulis. B. Prinsip Keterampilan Menulis Dalam rangka mewujudkan pembelajaran menulis yang harmonis, bermutu, dan bermartabat, harus diketahui terlebih dahulu prinsip-prinsip pembelajaran menulis. Diharapkan prinsip-prinsip ini akan menjadi pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran menulis sehingga mencapai tujuan yang dicita-citakan. Prinsip-prinsip pembelajaran menulis tersebut dikemukakan Brown (2001) sebagai berikut: 1. Pembelajaran menulis harus merupakan pelaksanaan praktik menulis yang baik. Dalam hal ini guru harus membiasakan siswa menulis dengan mempertimbangkan tujuan, memerhatikan pembaca, menyediakan waktu yang cukup untuk menulis, menerapkan teknik dan strategi menulis yang tepat, dan melaksanakan menulis sesuai dengan tahapan penulisan. 2. Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menyeimbangkan antara proses dan produk. 3. Pembelajaran menulis harus memperhitungkan latar belakang budaya literasi siswa. 117 4. Pembelajaran menulis harus senantiasa dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan whole language khususnya menggabungkan antara membaca dan menulis. 5. Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menerapkan kegiatan menulis otentik seoptimal mungkin, menulis otentik adalah menulis yang bermakna bagi siswa sekaligus dibutuhkan siswa dalam kehidupannya sehari-hari. 6. Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dalam tiga tahapan yakni tahap pramenulis, tahap menulis, dan tahap pascamenulis. 7. Gunakan strategi pembelajaran menulis interaktif, kooperatif, dan kolaboratif. 8. Gunakan strategi yang tepat untuk mengkoreksi kesalahan siswa dalam menulis. 9. Pembelajaran menulis harus dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan aturan penulisan misalnya jenis tulisan, konvensi tulisan, dan retorika menulis yang bagaimana yang harus digunakan siswa selama tugas menulis. Tulisan yang dibuat siswa haruslah tulisan otentik yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa. strategi pembelajaran interaktif, kolaboratif, dan kooperatif merupakan strategi yang memungkinkan siswa menulis secara tepat. Selanjutnya guru harus pula memberikan pengetahuan yang memadai tentang jenis tulisan, konvensi penulisan, retorika dalam menulis sehingga siswa mampu menulis sesuai dengan tujuan. Terakhir peran guru dalam memberikan umpan balik pada siswa sangat diperlukan. Guna melaksanakan peran ini guru harus memanfaatkan penilaian otentik atau penilaian formatif dalam pembelajaran menulis. Selain beberapa prinsip di atas, masih terdapat beberapa prinsip lain pembelajaran menulis. Beberapa prinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pembelajaran menulis hendaknya meneraokan pola tulis, pikir, kontrol, agar siswa terbiasa menulis dan mau menulis. 118 2. Pembelajaran menulis hendaknya memiliki tujuan jangka panjang agar siswa kreatif menulis. 3. Pembelajaran menulis hendaknya diikuti dengan penyediaan sarana publikasi tulisan sehingga siswa lebih termotivasi menulis. 4. Pembelajaran menulis hendaknya disertai bentuk penilaian formatif yang tepat sehingga guru dapat secara tepat sasaran memperbaiki kelemahan siswa dalam menulis. 5. Pembelajaran menulis hendaknya menekankan kreativitas siswa dalam menulis meliputi kemampuannya menulis secara orisinal, lancar, luwes, dan bermanfaat. 6. Pembelajaran menulis hendaknya dilengkapi dengan pemanfaatan teknologi dalam menulis. Bertemali dengan prinsip-prinsip pembelajaran menulis diatas, guru harus benar-benar meningkatkan kompetensinya dalam hal menulis. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuannya menulis secara langsung dan pengetahuannya tentang teori menulis. Selain itu, guru harus secara kreatif menciptakan proses pembelajaran menulis yang mendorong motivasi intrinsik siswa berkembang sehingga siswa terpacu untuk mau dan bisa menulis. Yang tak kalah penting adalah guru harus menerapkan proses pembelajaran menulis secara tepat berbasis proses menulis yang sesungguhnya.